Jumat, 14 Maret 2014

GRRI (Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia) dan Perang Danau Mare di Katingan , Kalimantan Tengah

Danau Mare
Masa revolusi fisik mempertahankan Kemerdekaan, banyak terjadi pertempuran yang dilakukan oleh pejuang-pejuang dari Kalimantan, salah satunya Perang Danau Mare (Tumbang Samba, Katingan - Kalimantan Tengah ). Dalam pertempuran Danau Mare ini banyak pejuang yang ikut bertempur, berhasil mengusir dan menewaskan Prajurit Belanda. Tetapi ironisnya, masyarakat banyak yang tidak tahu peristiwa bersejarah ini. Dengan tulisan ini diharapkan agar peristiwa heroik yang terjadi di Danau Mare -Katingan, Kalimantan Tengah dapat diketahui secara luas.
Perjuangan GRRI dalam Perang Danau Mare dapat dibagi dalam beberapa tahap peristiwa.

I. Laskar pejuang Dayak Besar
Pada masa penjajahan Belanda ditengah penderitaan Rakyat , muncul pemuda Pelapor dari FUSU TJO GAKKO yang bernama Pieter K. Sawong bersama Ibong Bangas dari Taman Siswa. yang mendapat mandat untuk mendirikan GP3 (Gerakan Pelopor Penegak Proklamasi). Untuk menindak lanjuti mandat itu pada tanggal 12 Desember 1945 diadakan pertemuan yang bertempat di rumah J.M. Nahan. Pertemuan ini dihadiri oleh Pieter K. Sawong, Sikur Patus, Timmerman Brahim dan J.M. Nahan. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan membentuk GP3 di daerah Dayak Besar dan segera melakukan perekrutan para pemuda. Tindakan ini direspon positif oleh para pemuda : M. Yunus, Atak Dillah, Amat Benyamin Amei, Batara Linggar, Ady Suryadi, Christoffel Binti dan JP. Ngampun.

Perkembangan selanjutnya pada tanggal 21 Desember 1945, terjadi pertemuan antara rombongan XI BPRI?BPUG dari Tuban dipimpin Mayor H. Achmad Hasan dengan Pieter K. Sawong di desa Kasintu. Dalam pertemuan ini terjadi kesepakatan untuk mengadakan rapat rahasia di rumah Singa Juhari dan mengangkat Pieter K. Sawong menjadi pimpinan BPRI/BPUG  wilayah Kahayan Hulu. Dalam perjuangannya, pasukan Pieter K. Sawong mendapat tambahan pasukan dari beberapa daerah yaitu , dari Rungan Manuhing yang dipimpin Mayor Christoffel Binti , dari Kapuas dipimpin Mayor Dawid Tarung dan pasukan dari Barito oleh Kapten Walter Takuan. 

II. Ekspedisi Sepan Biha
Awal Maret 1946 datang pasukan dari Tuban pulau Jawa ke Tewah yang dipimpin oleh Tuwai Umar, bersama dengan Hasan basri, Amat dan Abu Bakar. Mereka membawa berita bahwa Kapten Mulyono pimpinan pasukan 003/K3 MN-1001 dari Penjelidik Militer Chusus (PMC) telah datang ke Kalimantan dengan tujuan melawan NICA. Tuwai Umar sebagai pemimpin pasukan pendahulu telah berjanji untuk menghimpun segenap pejuang-pejuang yang ada di daerah Dayak Besar. Lokasi pertemuan adalah di Sepan Biha, hulu sungai Katingan. Tanggal 7 Maret 1946 di rumah Kepala Desa Tewah (Ahmad Kenan) diadakan rapat. Rapat tersebut memutuskan mengirim ekspedisi pelopor ke Sepan Biha untuk berkonsultasi dengan Kapten Mulyono. Yang terpilih menghadap Kapten Mulyono adalah : Ibung Bangas, Sukimin, Mustawiradji, Samsudin Aman, Tuwai Umar, Hasan Basri, Amat dan Abubakar. Mereka menyamar sebagai pedagang tembakau milik Aman Ali seorang penduduk Tewah.
Pada tanggal 16 Maret 1946 Ekspedisi ini berangkat ke Tewah menuju Batu Nyiwuh, melewati desa Tumbang Mujai, Tumbang Malahoi, Tumbang Jalemu di Hulu sungai Labihing , dan tiba di Tumbang Samba. Setiba di Tumbang Samba, rombongan menemui Kiai (Gelar untuk Camat pada jaman itu) Felix Asong, yaitu paman Tuwai Umar. Namun karena takut dengan Belanda Felix Asong menyarankan untuk segera meninggalkan Tumbang Samba. Akhirnya rombongan melanjutkan perjalanan ke desa Tumbang Sanamang menemui Kiai Kusen Amat, dan diperoleh informasi bahwa pasukan Kapten Mulyono telah bentrok dengan pasukan KNIL Belanda di Tumbang Manjul (hulu Sungai Seruyan). Dalam pertempuran itu Kapten Mulyono tertembak di bahunya dan menyelamatkan diri ke Nanga Pinoh (Kalimantan Barat). Dari pihak KNIL dilaporkan 13 orang tewas. Dengan adanya peristiwa itu dan atas saran dari Kiai Kusen Amat, maka rombongan memutuskan untuk kembali ke Tewah, dengan memecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok Samudin Aman, Hasan Basri, Abu Bakar, dan Amat dengan menggunakan perahu. Namun keberangkatan mereka diketahui oleh Polisi NICA Belanda. Di Tumbang Samba, Abubakar dan Amat tertangkap dan dibawa ke Sampit karena surat perlengkapan tidak lengkap, sedangkan Samudin Aman dan Hasan Basri berhasil melarikan diri menuju Tewah. Sedangkan Ibung Bangas menuju daerah Seruyan dan Sintang (Kalimantan Barat) menyusul Kapten Mulyono.

III. Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia (GRRI)
Tanggal 21 Juli 1946 diadakan rapat yang dihadiri sekitar 20 orang, tujuannya adalah membentuk organisasi perlawanan terhadap Belanda yang semakin kuat. Organisasi itu diberi nama Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia atau disebut juga alam gaib karena lokasi markasnya selalu berpindah-pindah. Pada tanggal 21 Maret 1947 badan-badan pejuang seperti GP3, Laskar Kilat, Laskar Merah Putih, Katraco dan lain-lain melebur menjadi satu badan perjuangan yaitu GRRI. GRRI juga mengeluarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Panglima Gerilya Markas Besar tentara GRRI. Isi Maklumat itu adalah :
1. Memerintahkan kepada seluruh pasukan untuk menyerahkan semua senjatanya kepada tentara GRRI paling lambat tanggal 19 Desember 1948.
2. GRRI memegang kekuasaan terhadap Pemerintahan Dayak Besar atau pemerintahan bentukan NICA.
3. Tentara GRRI selalu dalam keadaan siap tempur untuk menghadapi NICA atau pendukung NICA.

Pada pertengahan tahun 1948 datanglah seorang Pendeta berkebangsaan Selandia Baru ke Tewah. Pendeta ini mengajarkan cara membuat granat secara sederhana yang disebut granat burung[1]. Selain granat senjata yang digunakan adalah dumdum [2] yang dibuat oleh Diliu Lasri.
Tanggal 2 Desember 1948 bertempat di bukit Ngalangkang, dilakukan rapat rahasia yang dihadiri oleh Pieter K. Sawong, Ibung Bangas, A. Sendol Ranggan, Siang Hinting, Amberi Lihi, Itakri Tueng dan Anang Aini. Rapat itu memutuskan :
1. Pimpinan GRRI adalah Pieter K. Sawong dan Ibung Bangas sebagai wakilnya, bertugas menyusun organisasi, kepangkatan, tugas, jabatan dan lain-lain.
2. Tanggal 20 Desember 1948 akan dilakukan rapat raksasa di Kota Tewah yang dihadiri oleh seluruh masyarakat dan Pemerintah Dewan Dayak Besar[3].
Pada tanggal 20 Desember 1948, GRRI beserta rakyat Dayak Besar dengan menggunakan pakaian dan peci hitam, berkumpul di lapangan Tewah untuk melakukan upacara pengibaran Bendera Merah Putih. Pada upacara tersebut bertindak sebagai inspektur upacara adalah Pieter K. Sawong dan Komandan upacara adalah Ibung Bangas. Kemudian Pieter K. Sawong membacakan naskah teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang kemudian diteruskan dengan pembacaan Proklamasi Pemerintahan GRRI yang berbunyi :

PROKLAMASI

Merdeka !!!
Atas nama seluruh gerakan perjuangan bersenjata demi Proklamasi 17 Agustus 1945 di daerah Dayak Besar, seluruh rakyat dan partai, pejabat dan petugas NICA yang pro Republik Indonesia, dengan ini dinyatakan berdirinya Pemerintahan Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia (GRRI) Bukit Ngalangkang Dayak Besar, yang wilayah dan kekuasaannya meliputi seluruh Daerah Dewan Dayak NICA.
Perjuangan akan dilakukan hingga tetes darah yang penghabisan sampai Indonesia Merdeka.

Tewah, 20 Desember 1948
Panglima Markas Besar Tentara GRRI
Bukit Ngalangkang Dayak Besar
Ttd
Pieter K. Sawong
Kolonel GRRI

Lalu dilanjutkan dengan pidato yang disampaikan oleh Amberi Lihi dan Anang Aini untuk menjelaskan arti dan tujuan dari Proklamasi GRRI 20 Desember 1948, sebagai tonggak sejarah bagi kaum pergerakan di daerah Dewan Dayak Besar. Kemudian Pieter K.Sawong menjelaskan langkah-langkah yang akan ditempuh GRRI serta resiko yang akan terjadi. Pidato itu ditutup dengan pertanyaan yang ditujukan peserta upacara tentang kesanggupan mereka, dan dijawab dengan SANGGUP , oleh peserta yang hadir.

IV. Perang Danau Mere
Pada bulan Agustus 1949 diperoleh kabar bahwa pasukan KNIL akan melakukan penyerangan di daerah Dayak Besar. GRRI kemudian memutuskan untuk menghadang pasukan KNIL di ujung jalan ke Tumbang Jalemu di tepi Danau Mare. Kemudian dipilihlah 70 orang GRRI untuk bertempur, sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan upacara Adat Dayak "Manajah Antang" [4]. Antang tajahan memberikan pertanda bahwa mereka pasti akan memperoleh kemenangan. Dari 70 orang anggota yang berangkat dikurangi, karena menurut pandangan tetua-tetua adat bahwa kalau dipaksakan untuk pergi bertempur maka akan tewas. Samudin Aman selaku komadan pasukan akhirnya memilih 28 orang yang diberangkatkan dan dibagi menjadi tiga regu yaitu :
1. Regu senapan dumdum terdiri dari 9 anggota yaitu : Rajat dan Paul Isa dari Tumbang Manyangan, Lanang dan Abu Aman dari Batu Nyiwuh, Tuis Pandung dari Tehang, Birin Sulang dan Dawak Sulang dari Tumbang Talaken, Sikman dari Rabambang serta Junaidi dari Negara (Kalimantan Selatan) yang dipimpin oleh Kapten I Samsudin Aman
2. Regu pistol dan granat dipimpin Kapten II Muller Hanyi Antang dengan anggotanya 5 orang yaitu : David Kamal dari Hampatong, Lalim dari Mabulau, Tanggara dari Tumbang Baringei, Upeng Kurik dari Hulu Sungai Kahayan ,dan seorang lagi yang tidak diketahui namanya.
3. Regu Sumpitan dipimpin oleh Letnan I Hernous Sada dengan anggota 12 orang yaitu : Inin dari Jangkit, Kenan Kunum dari Tumbang Mujai, Kunen Tinggi dari Tumbang Malahoi, Kena Rasa dari Tumbang Miri, Runan dari Mambaruh (Kalimantan Barat), Lasri dan Lomoh serta Luber dari Tumbang Lapan, Luwi Mihing dari Putat, Sahadan Inin dari Tumbang Jalemu, Teluk Silai dari Tumbang Rahuyan dan seorang lagi tidak diketahui namanya.
Pasukan GRRI berangkat dari desa Tewah tanggal 20 Agustus 1949. Dalam perjalanannya pasukan disusul oleh Minon Dehen seorang pemuda dari Sungai Dahuyan dekat Desa Tumbang Talaken yang tidak terpilih menjadi pasukan dan bergabung dengan regu yang dipimpin oleh Kapten II Muller. Oleh karena tidak memiliki senjata, maka Tanggara memberikan kepada Minon Dehen 3 buah granat rakitan.

Pada tanggal 24 Agustus 1949, pasukan KNIL memasuki Danau Mare dengan menggunakan perahu. Ketika pasukan KNIL mendekat, Minon Dehen yang berada diatas pohon Karahuang yang tumbuh di tepi danau Mare dengan gerakan spontan menjatuhkan granatnya kearah perahu. Namun granatnya tidak mengenai sasaran, sehingga Minon Dehen ditembaki secara bertubi-tubi oleh pasukan KNIL , sehingga jatuh ke tanah dengan granat di tangan meledak dan merobek-robek badannya sendiri hingga meninggal.
Pertempuran tidak bisa dielakkan lagi, Samudin Aman yang berada dekat pohon yang dinaiki Minon Dehen terkena bidikan peluru, namun tidak cedera karena kesaktian yang dimilikinya. Pada pertempuran itu menurut keterangan Hernous Sada dari GRRI hanya Minon Dehen yang tewas, sedangkan dari pasukan KNIL 12 Orang dimakamkan di Tumbang Samba, 1 orang di Kasongan dan 4 Orang di bawa ke Sampit. Pertempuran danau Mare berlangsung sekitar 3 Jam, namun pertempuran tersebut menunjukan bahwa dengan kesungguhan hati maka musuh dapat dihadapi.
Untuk menghormati Minon Dehen pada tanggal 17 Agustus 1952 masyarakat Kota Tumbang Samba yang terdiri dari desa Samba Danum, Samba Kahayan, Samba Katung, dan Samba Bakumpai mengadakan upacara Tewah untuk menyempurnakan Jasadnya dan mendirikan Sandung yang terletak di Kota Tumbang Samba.


V. Penutup
Setelah kekalahan di Danau Mare, Belanda berusaha menyerang Tewah. Dalam pertempuran di Sungai Lepu pada tanggal 9 September 1949 pasukan KNIL berhasil dipukul mundur. Kemudian diangkat Igupran Bin Liwan sebagai Kepala Markas Pangkalan Sektor VII yang membawahi daerah Tumbang Samba sampai Tumbang Sanamang berdasarkan Instruksi wakil ketua MBT sektor V GRRI tanggal 21 Oktober 1949. Melihat dua kali serangan yang tidak ada hasil maka pasukan KNIL mencoba melakukan serangan yang ke tiga namun kapal BO.33 yang mengangkut pasukan KNIL kandas di Gosong dekat Desa Telok. Akhirnya Belanda tidak pernah lagi menyerang lokasi pasukan pejuang di daerah Dayak Besar.

Selama ini jarang ditulis perjuangan rakyat Kalimantan umumnya dan Dayak secara khusus, maka melalui tulisan ini penulis berharap perjuangan para pejuang Dayak Besar (Kalimantan Tengah) dapat dibaca oleh Pemuda-pemuda penerus perjuangan masa kini dan jadikan pelajaran untuk langkah selanjutnya. Jangan sekali-sekali melupakan Sejarah . #Tabe

@PakatDayak 14 Maret 2014 #AZE

[1] Granat burung adalah granat yang kulit luarnya terbuat dari kaleng minyak tanah yang di solder berbentuj buah mangga. Permukaannya dari kepala paku, sedangkan ekornya berbaling-baling untuk meluruskan arah jalannya. Isinya beling porselin dan pecahan kuali besi serta potongan rotan yang digoreng tanpa minyak dan dicampur belerang. Percobaan dilakukan dengan sasaran gedung sekolah rakyat dengan hasil yang memuaskan dimana bangunan tersebut hancur. (Abdul Fattah Nanan, Pertempuran Danau Mare. Halaman : 9)
[2] Peluru dari timah yang digoreng dicampur dengan upak binjai (sejenis Embacang), kapur sirih, suluh sawang (tunas lenjuang), dan upak kongkong (sejenis Pohon Ramin).
[3] Dayak Besar adalah Negara RIS yang menjadi Provinsi Kalimantan Tengah sekarang.
[4] Upacara Manajah Antang merupakan upacara yang dilakukan oleh masyarakat dayak di Kalimantan Tengah untuk memanggil Antang atau Burung Elang agar memberikan syarat dan pertanda kepada manusia sebelum berangkat perang (Nila Riwut , 1993. Tjilik Riwut : Kalimantan Membangun Alam dan kebudayaan. Halaman : 338)

Sumber:
-Penuturan lisan Bue Cristoffel Binti
-Abdul Fatah Nanan, "Pertempuran Danau Mare"
-Ahim S. Rusan ,2006 . Sejarah Kalimantan Tengah
-Yansen A. Binti. Merajut Sejarah Perjuangan perang gerilya Mempertahankan kemerdekaan RI di Daerah Dayak Besar (Kini Kalimantan Tengah) yang hampir terlupakan yaitu Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia (GRRI)

6 komentar:

  1. Terima Kasih telah menulis sejarah perjuangan di danau mare. Salam dari kami anak cucu Samudin Aman.

    BalasHapus
  2. Terima kasih telah Menulis sejarah perjuangan bangsa dari kalimantan tengah ini. Semoga semakin jaya indonesia ku. By Denny S. Silam

    BalasHapus
  3. Terima Kasih telah menulis sejarah perjuangan di danau mare. Salam dari kami anak cucu Igupran Bin Liwan

    BalasHapus
  4. Are terimakasih. Tege aran bue ku Sahadan Inin.

    BalasHapus
  5. Terimakasih telah menulis sejarah danau mare, salam dari anak cucu Upeng Kurik ,

    BalasHapus
  6. terimakasih telah menulis sejarah ini kita dari cucu (alm)amat benyamin amei

    BalasHapus